Ini adalah bagian yang paling menarik, yang paling dalam; berbicara tentang Ibu rasanya tidak cukup dengan satu judul kecil seperti ini. Ke depan, rasanya saya akan membuat satu buku khusus bertema Ibu.
Ibuku bernama Kausar Parveen. Ia adalah orang yang paling dekat dengan saya, namun Ibu sudah meninggal pada tahun 2014, atau tepat pada usia saya 22 tahun. Jika Ibu masih ada sampai detik ini, tentulah saya akan banyak berkeluh kesah kepada Ibu. Karena bagi saya, tidak ada yang bisa menggantikan posisi Ibu sampai saat ini. Walaupun sekarang saya sudah memiliki ibu sambung, saya sangat menghormatinya, tapi kedekatan saya dengan Ibu sangat dekat, lebih dekat dibandingkan anak-anak yang lain.
Pertama kali diperintahkan oleh Ayah ke Jakarta tahun 2008, saya masih saja bimbang dan ada rasa sedikit untuk menolaknya. Alasannya, sebab saya ingin menemani Ibu. Tapi justru berkat bujuk rayu dari sang Ibu, akhirnya saya bersedia untuk ikut Ayah berjuang di negeri lambang Garuda ini.
Waktu itu yang membuat saya tidak mau meninggalkan Ibu adalah karena sudah ada diagnosa kanker stadium 3 dari dokter, yang artinya usia Ibu dalam hidup ini sudah dekat dan tidak akan lama lagi. Saat kecil, saya termasuk anak yang suka dibully oleh teman-teman. Tapi tiap kali mengadu kepada Ibu, hati ini rasanya teguh kembali. Makanya, selain tidak mau meninggalkan Ibu, yang membuat saya tidak mau terpisah dengan Ibu adalah karena semua keluh kesah saya saya tumpahkan ke Ibu. Jika tidak ada Ibu, ke mana nanti saya akan mengadu.
Saat sakit kanker Ibu sudah mulai parah dan masuk stadium 4, saya memohon kepada Ayah untuk menerbangkannya ke Indonesia. Lalu tidak berselang lama, permohonan dikabulkan; Ibu terbang ke Indonesia. Saat itu saya masih ingat, awal Januari 2014 saya menjemputnya di Bandara Soekarno-Hatta Terminal 2. Makanya sampai sekarang, jika ke sana, saya tidak akan mau untuk berlama-lama di sana, sebab bayang-bayang Ibu masih terlintas di benak saya saat menjemput Ibu di bandara.
Setelah itu, Ibu di Jakarta kurang lebih selama 10 bulan, sebelum akhirnya ia pergi selama-lamanya. Ibu meninggal pada bulan Oktober tahun 2014, saat usia saya 22 tahun. Saya termasuk orang yang paling beruntung, karena bisa fokus menemani Ibu selama 40 hari sebelum Ibu meninggal. Setiap hari saya selalu menghibur Ibu, saya bikin Ibu ketawa, dan saya selalu kasih motivasi kepada Ibu bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ibu adalah orang yang selalu bilang dan mendoakan agar saya diberikan istri yang baik. Doa itu terucap berulang kali. Ia sangat khawatir kalau anaknya ini nanti mendapatkan istri yang tidak baik. Ibu pernah menyampaikan kepada saya bahwa jika masih diberi umur, ia akan menyanyikan lagu khusus di pernikahan saya. Namun karena Ibu juga sudah memiliki firasat, Ibu akhirnya meminta untuk dibuatkan video saat Ibu menyanyikan lagu Islam, kemudian meminta jika nanti umurnya tidak sampai, tolong putarkan videonya tepat di hari spesial itu.
Empat tahun berselang, saat saya menikah, di pesta pernikahan saya memutarkan video penampilan dari Ibu yang bernyanyi untuk saya dan istri. Menangis saya, terharu melihatnya dan membayangkan jika Ibu masih hidup, tentu Ibu akan sangat bahagia melihat saya menikah.
Ibu ini sebetulnya sudah dinyatakan sembuh oleh dokter, tapi setelah dicek kembali ternyata belum 100 persen sembuh. Bahkan kanker itu tumbuh kembali di tulang dan hati.
Dalam 40 hari saya menemani Ibu, ia pernah berkata, “Atta usianya sudah besar, Ibu mau doa biar dipercepat sama Allah,” yang langsung saya jawab, “Jangan minta seperti itu, biar Allah yang menentukan sendiri.” Ucapku.
Tiga hari sebelum Ibu meninggal, Ibu sudah sampaikan kepada saya tentang usianya yang hanya tersisa tiga hari saja. Waktu itu saya tidak percaya dan terus memotivasi Ibu bahwa semua akan baik-baik saja. Malam itu benar-benar malam istimewa. Walaupun sejujurnya saya juga takut—takut malam ini jadi malam terakhir saya berpisah dengan Ibu.
Saat Ibu sudah tidur, saya jaga Ibu sepenuh hati. Saya tatap terus wajahnya, lelahnya berjuang membesarkan dan mendidik anak-anak. Kemudian saya baru bisa tidur setelah habis salat Subuh.
Saat bangun jam 10, saya dengar ada suara-suara berisik di rumah. Lalu saya dengar ada kakak perempuan dan kakak ipar saya coba membangunkan Ibu. Saya kaget dan langsung teringat omongan Ibu bahwa ini adalah malam terakhirnya. Setelah itu, Ibu dibawa ke rumah sakit dengan mobil ambulans.
Ternyata Ibu belum meninggal; Ibu justru bangun saat di rumah sakit dan mulai banyak bicara, padahal biasanya sedikit bicara. Saat itu juga Ibu minum banyak—satu setengah gelas—padahal biasanya hanya minum tiga sendok saja. Keluarga yang hadir saat itu senang sekali, terkecuali saya yang masih terngiang ucapan Ibu. Lalu saya dengar sayup-sayup Ibu mulai menyampaikan pesannya. Ibu minta tolong kepada semuanya untuk menjaga saya. “Tolong jaga Atta, karena Atta itu polos, kalau ada masalah dia suka pendam sendiri,” kata Ibu.
Kemudian dokter menyampaikan kepada kami bahwa, biar ngobrolnya lebih nyaman, alangkah baiknya dipindahkan ke kamar VIP. Hal itu langsung disetujui dan kami segera memindahkan Ibu.
Saat perjalanan menuju ruang VIP, saya sudah berniat ingin menyampaikan kepada Ibu untuk tidak membela saya terus, karena masih ada anak-anak yang lain. Saya tidak mau nanti mereka iri atau salah paham dengan saya. Namun belum juga sempat bilang, Ibu—yang dari tadi selalu berdzikir dan mengucapkan kalimat tauhid—memegang tangan saya sambil berucap pelan, “Atta, Ibu pamit ya.”
Saya langsung teriak kencang, “Ibu, tunggu dulu!” Setelah itu Ibu langsung pergi, yang ternyata itu adalah tanda perpisahan terakhirnya. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” Ibu meninggal tepat saat perjalanan ke ruang VIP sambil memegang tangan saya.
Setelah Ibu meninggal dan selesai proses pemakaman, saya adalah orang yang paling terpukul atas kepergian Ibu. Kakak perempuan saya bercerita bahwa selama tiga hari, saya hanya mengucapkan satu kalimat saja, dan itu diucapkan berulang-ulang: “Sekarang aku tidur sama siapa, cerita sama siapa?”
Begitulah cerita tentang sosok yang sangat dekat dengan saya. Bahkan dalam setiap pencapaian saya saat ini, di usia 30 tahun, saya selalu berbagi cerita dengan Ibu saya—seolah-olah Ibu ada dan mendengar saya. Walaupun saya tahu Ibu sudah pergi, tapi akan saya terus melakukannya sampai kapan pun. Karena keberhasilan saya saat ini adalah buah kesabaran Ibu menemani, mendidik, dan mengajarkan saya apa itu arti kehidupan.
Salam rindu dari anakmu tercinta,
Atta.
