Ayah

Perkenalkan, nama Ayah saya adalah Maliq Masood Ahmad. Orang biasa memanggilnya dengan nama Pak Masood. Ia adalah orang yang paling berjasa dalam keberhasilan keluarga saya membangun ekonomi keluarga. Perjuangannya sejak tahun 1993—meninggalkan keluarga dan merantau ke Indonesia—ternyata tidak sia-sia dan membuahkan hasil yang bisa dinikmati oleh seluruh keluarga besar.

Perjuangan Ayah boleh dikatakan tidak semanis yang terlihat. Dalam kisahnya semasa berjuang di awal-awal, Ayah bahkan pernah memakan satu mi instan untuk satu hari. Jadi, setengah mi instan dimasak untuk lauk makan siang, setengahnya lagi dimasak untuk lauk makan malam.

Saat umur saya belum genap satu tahun, saya sudah ditinggalkan olehnya. Mungkin itulah yang menyebabkan kedekatan saya dengan Ayah berbeda sekali dengan kedekatan saya bersama Ibu. Sampai saat ini saja, saya seperti ada jarak dengan Ayah. Selain kebersamaan kami yang kurang, penyebabnya adalah karena saya sangat menghormati Ayah. Ayah adalah orang yang sangat sederhana dan penuh kesabaran. Ia meninggalkan keluarga bukan untuk dirinya sendiri, tetapi justru berjuang untuk keluarga.

Ayah adalah tipikal orang yang jika ada masalah, ia akan tambah ceria. Makanya, jika Ayah sedang ceria, saya akan bertanya dalam diri, “Ayah sedang ada masalah apa?” Namun karena serasa ada jarak, saya tidak menanyakan sedang ada masalah apa, tetapi saya hanya menyampaikan doa kepada Ayah agar urusan dan permasalahannya dilancarkan segala sesuatunya.

Gaya silaturahmi yang saya lakukan kepada semua elemen selama ini sebetulnya mencontoh Ayah. Saat saya mulai merantau ke Indonesia, saya memperhatikan sekali bagaimana Ayah bergaul dan bersilaturahmi dengan siapa pun. Ia bisa masuk berkomunikasi dengan orang Indonesia dari berbagai kalangan, padahal Ayah saya orang Pakistan. Itulah yang membuat saya bisa seperti ini—saya belajar dari Ayah saya. Sering sekali ada tamu yang datang ke toko, kemudian bercerita bahwa sudah belasan tahun berteman dengan Ayah saya. Itulah yang akhirnya memotivasi diri saya untuk berbuat yang lebih baik lagi dari Ayah.

Ayah termasuk orang yang sering sekali menerima tamu; bahkan saya pernah melihat Ayah menerima tamu 30 orang sekaligus. Saat ini, Ayah sangat bangga terhadap saya—bukannya saya sedang memuji diri sendiri. Justru kebanggaan itu yang sering Ayah ceritakan akhir-akhir ini kepada semua orang. Bagi saya, hal itu adalah sebuah keberkahan, karena saya memang ingin sekali Ayah bangga terhadap saya.

Kepatuhan saya terhadap Ayah adalah nomor satu; apa pun yang Ayah sampaikan akan saya ikuti. Percaya atau tidak, ada satu hal yang ingin saya sampaikan melalui buku ini. Di usia 30 tahun, saat saya sudah menjadi seorang Ayah dari dua anak, saya tetap meminta izin untuk meminta uang jika ingin membeli atau berbuat sesuatu. Itu adalah tradisi yang tetap harus dilakukan. Jadi, jika saya ingin membeli sesuatu, saya akan sampaikan kepada Ayah. Jika saya ingin melakukan sesuatu, saya juga akan izin kepada Ayah. Jika Ayah sedang tidak ada, baru saya akan menyampaikannya kepada kakak laki-laki.

Di dalam keluarga, hanya saya yang berpendidikan rendah. Hal itu bukan karena Ayah menghendakinya, melainkan karena kemampuan saya yang tidak bisa mengikuti pelajaran. Buktinya, Ayah memberikan pendidikan yang tinggi sampai universitas kepada kakak-kakak dan adik saya.

Lewat buku ini, saya mau mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ayah, karena sudah berjuang untuk keluarga yang hasilnya bisa dirasakan oleh kami saat ini.