Hape Pertamaku

Setelah membahas terkait ikutan zaman dan centang biru di Instagram, sekarang kita bahas tentang handphone. Pada tahun 2006, tepat di hari kelulusan sekolah di jenjang Secondary Education (setara SMP di Indonesia), harusnya saya adalah orang yang paling berbahagia. Namun kenyataannya berbeda: saya justru sedih dan menangis di hari itu. Pulang dari sekolah saya langsung masuk ke kamar; sempat ditanya oleh Ibu, namun balasan saya adalah raut wajah kekecewaan.

Alasannya kenapa bisa seperti ini adalah karena tidak ada satu pun orang yang mau memberikan nomor handphonenya kepada saya, padahal itu adalah hari terakhir kami bersekolah. Bukan tanpa sebab mereka tidak memberikan nomor kontaknya, melainkan karena saya tidak membawa handphone untuk mencatatnya. Sudah saya tawarkan untuk dicatat di buku tulis, tapi mereka tetap tidak mau; mereka hanya mau bertukar nomor kontak di gawai saja.

Akhirnya, ketika pulang, saya luapkan kekecewaan kepada Ibu karena Ibu tidak mau meminjamkan handphonenya. Padahal saya sudah memohon untuk dipinjamkan satu hari sebelum acara perpisahan.

Itulah cerita masa lalu, di mana saya menjalani hidup yang sangat sederhana dan belum diberikan handphone. Padahal saat itu, sebanyak 50 persen lebih anak-anak di Pakistan sudah memegang handphone. Beberapa dari anak tersebut menanyakan ke saya terkait handphone milik saya berkali-kali. Saya jawab dengan jawaban yang sama, bahwa yang saya miliki adalah handphone mahal dan mewah, jadi tidak sembarangan untuk dibawa keluar.

Padahal itu hanya jawaban pura-pura agar mereka tidak terlalu meremehkan saya di sekolah. Jawaban itu juga berkat usulan dari almarhumah Ibu saya, karena untuk menjaga anaknya agar tidak terlalu direndahkan.

Berbicara terkait bakat memotret yang saya miliki saat ini, ternyata sudah saya rasakan ada sejak masa puber. Berawal dari keinginan saya mengabadikan momen keindahan alam seperti langit yang cerah, matahari terbit dan terbenam. Walaupun belum memiliki kamera, tidak lantas menutup keinginan saya. Alhasil saya sering sekali meminjam handphone kakak ipar saya untuk digunakan kameranya. Walaupun dengan kamera handphone sederhana, tetapi hasilnya boleh dibilang cukup baik. Terbukti, kakak ipar saya juga menjadikan salah satu hasil foto saya sebagai wallpaper.

Kemudian di tahun 2008, saat saya merantau ke Jakarta, saya belum juga mendapatkan handphone pertama saya. Dengan sabar saya menanti; akhirnya, barulah setahun kemudian saya dibelikan handphone pertama saya dengan brand Nokia seri 5130 C2. Itu pun dibelikan karena untuk koordinasi masalah penjualan karpet.

Kemudian, salah satu saudara saya ada yang memberitahu bahwa ada aplikasi Opera yang bisa mencari apa saja, cukup dengan diketik lalu akan muncul semuanya. Tanpa pikir panjang, saya langsung ketik nama Umar Gul, pemain cricket yang hebat dari Pakistan. Begitu gembiranya saya karena bisa melihat foto-foto Umar Gul.

Kemudian saat saya bertemu saudara-saudara, saya bercerita tentang kehebatan handphone saya ini sambil menantang, apakah handphone kalian juga bisa serupa. Lalu mereka serentak menjawab kalau handphonenya tidak secanggih saya. Saat itu saya senang sekali, walaupun sekarang saya baru tahu bahwa mereka berbohong untuk menghargai saya. Justru handphone mereka semua lebih canggih dari yang saya miliki.

Pertama kali, saya menggunakan provider yang identik berwarna kuning. Saya masih ingat sekali, sebelum kartunya diaktifkan saya berdoa terlebih dahulu: “Ya Allah, saya ingin menggunakan nomor ini dengan sebaik-baiknya, jangan sampai saya menyesal karena mempergunakannya dengan yang salah nanti.” Ucap saya.

Setelah punya handphone pribadi, langsung saja saya berburu foto sebanyak-banyaknya. Tanpa terasa, di handphone dengan memori yang tidak seberapa itu sudah terkumpul sebanyak 7.300 foto. Uniknya, kebanyakan fotonya dalam bentuk swafoto atau “selfie” dengan kamera belakang. Banyak yang bingung, bahkan tidak percaya dengan keahlian saya menggunakan kamera belakang tapi hasilnya adalah swafoto.

Setelah 2,5 tahun berlalu, perkembangan handphone semakin menggila; kemajuan fitur dan teknologinya pun semakin masif. Alhasil saya pun ingin mengganti handphone dengan yang baru, yang lebih bagus dan baik. Lalu saya melakukan beberapa cara agar Ayah bersedia mengeluarkan uang untuk dibelikan handphone baru. Salah satu di antaranya adalah dengan berpura-pura tidak terdengar suara dari lawan bicara saat angkat telepon di depan Ayah.

Ada cerita unik lain sebelum Ayah akhirnya mau membelikan handphone baru. Saat saya berkunjung ke tempat saudara, saya lihat handphone yang dipakai olehnya sangat bagus, terutama dari hasil kameranya. Hal itu tentu membuat saya terpesona; lalu saya langsung lihat apa tipenya, dan tertulis Nokia C5. Setelah pulang ke rumah, saya cerita ke Ayah bahwa handphone milik saudara sangat bagus. Tiba-tiba Ayah langsung menawarkan dengan berucap, “Kamu mau? Kalau iya, ayo kita beli!”

Saya yang senang dengan penawaran itu langsung jadi lupa tipenya, sehingga yang akhirnya dibeli adalah Nokia C3, handphone satu kelas di bawah Nokia C5. Namun karena bakat fotografi yang saya miliki, C3 pun bisa sehebat C5 untuk hasil fotonya.

Itulah cerita unik saya terkait handphone. Beberapa tahun setelahnya, seiring dengan perkembangan toko yang Alhamdulillah pesat, saya selalu menggunakan handphone seri terbaru yang keluar dari sebuah brand ternama.