Melihat kondisi saya sekarang, mungkin banyak yang berpikir masa kecil saya bahagia dan indah. Nyatanya, masa kecil itu tidak seindah bayangan orang. Saya menghabiskan masa kecil di Pakistan dalam keluarga sederhana—bukan mudah untuk membeli apa yang diinginkan. Bukan hanya keluarga saya, lingkungan sekitar rumah pun umumnya hidup sederhana.
Saya pernah mengalami keterbatasan makanan; selama tiga hari berturut-turut hanya makan satu jenis makanan. Ini bukan cerita sedih, melainkan dorongan bahwa keberhasilan milik semua orang.
Di lingkungan pertemanan, saya termasuk anak yang sering dibully dan diolok-olok. Saya dianggap terlalu polos, dinilai belum pantas melakukan sesuatu, dan tidak seperti mereka. Karena itu, saya kerap memilih diam dan tidak bermain bersama. Saya membuat permainan sendiri dengan mengumpulkan tutup botol bekas sirup, lalu mengajak teman-teman yang mau bermain. Meski begitu, tidak ada dendam sedikit pun. Jika ada rezeki, saya membeli permen dan membagikannya kepada siapa pun yang saya temui.
Ada hal yang menarik: meskipun sering mengolok, saat mereka tahu saya akan pergi ke Indonesia, mereka justru mendoakan. Bahkan orang yang paling sering membully berkata, “Dengan kepolosan, kamu pasti akan berhasil di Indonesia.”
Setelah sekian lama berjuang di Indonesia, saya membuktikan kepada mereka bahwa keberhasilan itu milik siapa saja—termasuk anak yang saat kecilnya sering dibully.
Pernah, ketika menjadi bintang tamu di sebuah acara televisi nasional, keluarga saya memasang status di media sosial. Orang-orang di kampung halaman melihatnya dan ikut bangga. Seolah daerah yang sederhana itu kini punya perwakilan yang bisa menembus dunia pertelevisian dan dikenal banyak orang. Kabar ini juga sampai kepada teman-teman yang dulu membully saya; sebagian menyampaikan rasa bangga secara langsung melalui pesan di Facebook.
