Rumah Jangan Pernah Dibandingkan

Di Pakistan ada sebuah tradisi terkait rumah: semua anak harus tetap tinggal bersama orang tua, meski sudah menikah dan memiliki anak. Mereka biasanya baru keluar dari rumah ketika menikahkan anaknya, dan begitu seterusnya. Namun, tradisi ini hanya bisa dijalankan oleh keluarga yang memiliki rumah besar. Bagi mereka yang ekonominya sederhana, tradisi tersebut tidak berlaku.

Saya sendiri berasal dari keluarga sederhana. Ketika Ayah menikah dengan Ibu, mereka meninggalkan rumah orang tua dan menyewa sebuah rumah kecil di Pakistan. Baru setelah beberapa waktu, Ayah mampu membeli rumah sendiri—rumah sederhana, mirip dengan perumahan bersubsidi di Indonesia. Saat Ayah berjuang mencari nafkah di Indonesia, saya besar bersama Ibu dan kakak-adik di rumah kecil itu. Di sanalah saya merasakan arti hidup sederhana yang diajarkan oleh Ibu.

Ibu selalu menasihati, jangan pernah membandingkan rumah kita dengan rumah orang lain. Apa pun yang ada di rumah harus disyukuri, sebab kalau terus melihat ke kehidupan orang lain, tidak akan pernah ada habisnya. Pesan Ibu itu begitu membekas dalam hati saya. Dulu, untuk membeli sesuatu saja rasanya sulit, tetapi Ibu selalu hadir menenangkan dan menguatkan kami, anak-anaknya.

Kini saya menyadari, bukan hanya Ayah yang berjuang hebat. Ibu pun memiliki perjuangan besar—mengatur keuangan yang serba terbatas agar tetap tercukupi, sekaligus mengajarkan kepada anak-anak arti sabar dan syukur.

Saat ini, saya tinggal satu rumah bersama kakak dan adik di Jakarta. Dalam tradisi kami, keberkahan diyakini lebih mudah turun kepada keluarga yang hidup bersama dalam satu atap. Tinggal bersama bukan berarti tidak mampu membeli rumah sendiri, melainkan karena yang dicari adalah berkah.

Bagi saya, makna berkah adalah ketika semua penghuni rumah diberi kesehatan, saling akur, dan saling akrab. Sebab, percuma memiliki rumah mewah jika penghuninya tidak rukun dan tidak saling menyayangi.

Di usia 30 tahun ini, saya teringat masa remaja ketika saya pernah bertekad ingin tinggal bersama keluarga dalam satu rumah hingga tua. Namun kini pandangan itu mulai berubah. Saya berpikir, kelak saya akan meninggalkan rumah ketika tiba saatnya menikahkan anak saya.