Orang Pakistan Yang Cinta Sambal Terasi

Seperti yang sudah diceritakan pada judul sebelumnya, hidup keluarga kami dahulu sangat sederhana. Saking sederhananya, kami baru bisa memasak kari kambing itu setahun sekali. Itulah gambaran kesederhanaan keluarga kami. Kami tidak masak setiap hari; Ibu saya kadang memasak, kadang juga tidak memasak sama sekali. Jika ada kiriman masakan dari tetangga, maka hari itu Ibu tidak memasak.

Sampai terekam jelas di ingatan saya kejadian yang memilukan. Suatu hari ada tiga roti di dapur, sedangkan jumlah anggota keluarga di rumah berjumlah empat orang: ada Ibu, kakak laki-laki, kakak perempuan, dan juga saya sendiri. Akhirnya, dengan inisiatif yang tinggi, saya bilang ke Ibu untuk izin sebentar karena mau ditraktir makan sama teman, sambil menyampaikan bahwa roti yang ada di dapur silakan dimakan saja.

Setelah itu saya keluar keliling sekitar rumah. Sekitar satu jam kemudian saya kembali ke rumah. Setelah masuk, saya langsung menuju dapur, mencari sisa makanan di dalam kain (biasanya roti disimpan di dalam kain). Ibu pun memergoki saya dan berkata, “Cari apa? Bukannya sudah ditraktir makan sama teman?” Saya langsung saja berpura-pura sedang ingin minum air dingin karena haus. Lalu saya pun meminum air dingin yang banyak untuk menahan lapar, padahal saat itu saya sangat lapar.

Pernah suatu ketika dalam tiga hari berturut-turut saya tidak memakan apa pun kecuali daun, karena saat itu memang tidak ada yang bisa dimakan. Untuk itu saya terpaksa mengambil daun tersebut sebagai pengganjal perut. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa yang pernah saya lalui.

Saya ingat kata-kata Ibu bahwa saya adalah anak yang paling malas makan di antara anak-anak lainnya. Malas ini bisa diartikan susah makan juga. Makanan favorit saya sangat terbatas. Saya masih ingat ada sayuran yang paling saya suka, yaitu okra. Okra merupakan sayur yang sangat murah meriah; harganya saat itu, jika dirupiahkan, hanya 1.000 rupiah. Saya sangat suka karena enak sekali dan saya tahu jika membeli okra tidak memberatkan Ibu.

Pengalaman unik lainnya adalah tentang susu dan merica. Kedua bahan makanan tersebut sempat dijadikan sebagai menu pengganti kari saat itu. Mahalnya kari membuat Ibu harus menemukan menu alternatif; akhirnya dibuatlah penggantinya dengan perpaduan rasa manis dari susu dan pedas dari merica. Sempat ada kejadian lucu saat Nenek kami main ke rumah. Nenek menanyakan kenapa roti yang dimakan tidak dengan kari, melainkan hanya dengan susu dan merica. Ibu saya kemudian menjawab dengan tenang bahwa anak-anaklah yang justru lebih suka paduan susu dan merica daripada kari. Tidak berhenti di situ, Nenek ikut menginterogasi anak-anak terkait hal ini. Lalu kami sepakat dan kompak menjawab bahwa memang kami lebih suka susu dan merica ketimbang kari. Namun sebenarnya kami lebih suka kari, tetapi kami terpaksa berbohong karena kami tahu bahwa Ibu dan Ayah sedang berjuang untuk anak-anaknya.

Urusan serunya makanan ini berlanjut saat saya ke Indonesia. Baru beberapa hari di sini, ada Paman saya yang mengajak makan soto. Paman menunjukkan kepada saya cara memakan soto. Namun saat itu saya belum terbiasa dengan makanan Indonesia. Bahkan saat makan soto, saya merasa mual, pusing, dan ingin muntah, namun karena menghormati Paman, akhirnya saya tahan dan terpaksa tetap memakannya.

Selang beberapa lama setelahnya, Kakak saya juga memberikan makanan pecel ayam sambal terasi. Ada yang aneh saat itu, yaitu tercium aroma kaus kaki, sampai saya menanyakan kepada Kakak, apakah kaus kakinya bau? Lalu Kakak mengiyakan seraya tersenyum kepada saya. Setiap kali makan, saya cuma bisa menggerutu kepada Kakak karena kaus kakinya bau dan mengganggu selera makan. Barulah setelah tiga bulan berlalu, saat saya makan sendirian tanpa Kakak, saya menyadari bahwa bau tersebut rupanya dari sambal, bukan dari kaus kaki Kakak.

Setelah kejadian itu, saya justru jadi cinta dengan sambal terasi. Menurut saya, itu adalah sambal terenak dan yang paling cocok untuk saya makan. Selain itu, saya juga suka sambal pecel. Adapun untuk sambal matah, menurut saya terlalu pedas, sehingga tidak cocok untuk saya dan sebagian besar orang Pakistan yang notabene tidak suka pedas.

Setelah 15 tahun lebih di Indonesia, saya sudah memiliki makanan khas Nusantara yang paling saya suka, yaitu nasi uduk ayam goreng dan nasi Padang—keduanya merupakan makanan favorit saya. Sejauh ini, saya menghindari makanan junk food. Menurut saya, selain kurang sehat, kebiasaan konsumsi makanan tersebut juga merupakan gaya hidup yang berlebihan. Berkaca kepada latar belakang keluarga saya dahulu, saya mengadopsi gaya sederhana dalam menjalani hidup. Makanya sampai detik ini, keluarga saya selalu memprioritaskan makan dari masakan rumah, kecuali jika sedang ada kegiatan di luar.