Tema ini akan selalu jadi pertanyaan untuk kebanyakan orang, karena banyak yang tidak tahu dan jarang saya ceritakan bahwa saya termasuk yang bermasalah dalam sekolah. Saya hanya sekolah sampai kelas 8, atau baru lulus middle school, setara Sekolah Menengah Pertama di Indonesia. Namun Sekolah Dasar di Pakistan hanya sampai lima tahun, berbeda dengan di Indonesia yang sampai kelas 6. Setelah itu saya merantau ke Indonesia, kemudian saya tidak melanjutkan sekolah lagi sampai detik ini.
Jika diukur dalam jenjang pendidikan di Indonesia, maka saya termasuk kategori yang rendah. Masih jauh dari program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah Indonesia ataupun Pakistan. Bukan malas, melainkan ada fenomena trauma yang saya alami semasa sekolah di Pakistan dahulu. Saat itu saya sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari teman-teman, terutama sering diledek karena nilai ujian saya yang sangat rendah.
Bahkan saya baru mengetahui setelah saya sudah di Indonesia bahwa saya sebetulnya tidak naik kelas saat sekolah, tapi ibu saya sengaja datang ke sekolah untuk menemui kepala sekolah. Tujuannya tidak lain adalah untuk menegosiasikan status saya agar bisa naik kelas. Ibu mengeluarkan berbagai alasan kepada kepala sekolah, salah satunya agar saya diberi kesempatan dan tetap semangat dalam menjalani dunia pendidikan formal.
Di sekolah saya juga sering menyendiri; saya merasa teman-teman tidak mau bermain dengan saya. Waktu itu, saya adalah pribadi yang introvert. Segala keluh kesah di sekolah saya pendam sendiri. Saya memang kurang bisa mengikuti pelajaran di sekolah; pusing rasanya jika memaksakan diri untuk belajar.
Makanya, saat merantau ke Jakarta, saya tidak mau melanjutkan sekolah. Namun bukan berarti saya berhenti belajar. Justru akhirnya saya mengetahui bahwa cara belajar yang efektif bagi saya adalah dengan diceritakan atau dibacakan oleh orang lain. Untuk membaca buku pelajaran sendiri, saya sangat lemah. Sebaliknya, saya lebih cepat menangkap jika buku itu dibacakan atau disampaikan ulang oleh orang lain.
Setelah menyadari hal itu, saya akhirnya sering bergabung dengan orang-orang baik dan pintar, karena saya sadar bahwa sendiri saja tidak akan bisa. Saya harus menyerap ilmu dari orang lain, lewat penuturannya atau dengan cara menghabiskan waktu bersamanya.
Menurut saya, jika kita tulus, berakhlak baik, mau berbagi dengan sesama, dan senang membahagiakan orang lain, maka Allah SWT akan mempermudah semua urusan, termasuk dalam penyerapan ilmu secara otomatis dari orang lain. Itulah yang saya rasakan, sehingga sampai detik ini saya diberikan kemampuan menghadapi orang lain dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.
Kendati pendidikan saya sangat rendah, namun tentu saja saya tidak mau hal itu berlaku untuk anak-anak. Mereka harus yang bagus dan terbaik untuk sekolahnya. Tapi nomor satu tetap akhlaknya harus baik; biasanya kalau fokus mengejar pendidikan saja, bisa lupa dengan penerapan akhlak.