Istriku, Pilihan keluargaku

Saya termasuk orang yang tidak pernah membayangkan akan menikah dengan siapa. Seumur hidup juga tidak pernah pacaran. Sesuai ajaran Islam yang melarang pacaran, budaya di daerah kami pun menjunjung tinggi nilai untuk tidak berpacaran.

Dalam Islam dikenal istilah ta’aruf, proses perkenalan sebelum menikah. Namun praktik ta’aruf di Indonesia berbeda dengan di daerah saya di Pakistan. Di sana, yang melakukan perkenalan adalah keluarga; di Indonesia umumnya calon pengantin terlibat langsung, meski tetap didampingi guru, ustaz, atau perwakilan keluarga.

Bagi saya, apa pun yang dipilihkan keluarga—dalam hal ini orang tua dan kakak—adalah yang terbaik. Istri saya saat ini adalah pilihan keluarga. Keluarga yang melakukan pendekatan, sementara saya justru baru mengetahui sosok calon istri pada hari pernikahan. Keputusan untuk menerima pun harus segera, sampai tidak ada waktu untuk banyak berpikir. Masih teringat, suatu hari kakak pertama meminta agar segera bersiap melamar. Tidak ada kesempatan menimbang; hanya satu pilihan: berangkat. Waktu yang diberikan lima menit—bukan untuk berpikir, melainkan cuci muka dan berganti pakaian. Saat lamaran, yang ditemui hanya pihak keluarga tanpa kehadiran calon istri. Saya baru melihat istri setelah ijab kabul.

Budaya kami memang unik, dan itu dinikmati sepenuh hati. Setelah lima tahun berumah tangga, rasa cinta justru semakin besar. Dari awal yang canggung untuk sekadar berbincang, terasa berjarak saat bersama, kini semuanya berubah menjadi nyaman. Bukan berarti tanpa rintangan, tetapi menurut saya, menerima pilihan keluarga bukanlah hal yang salah. Keluarga akan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi anggotanya.