Mendengar kata kampung halaman, ingatan saya langsung kembali ke masa kecil yang penuh keceriaan. Terbayang momen-momen saat bermain bersama teman-teman dengan segala permainan dan keseruannya.
Salah satu kenangan yang paling saya nantikan adalah bermain hujan. Saya masih ingat betapa serunya mengayuh sepeda di tengah derasnya hujan, merasakan tetesan air yang menampar wajah. Berlarian ke sana kemari sambil mencari guyuran air besar dari pipa pembuangan di atap rumah adalah kebahagiaan sederhana yang sulit dilupakan. Hingga kini, di usia 30 tahun, saya masih sering merindukan momen itu—ingin sekali rasanya kembali merasakan hujan seperti masa kecil dulu.
Selain itu, ada juga permainan sederhana yang sangat melekat dalam ingatan saya, yaitu permainan tutup botol. Caranya, saya mengumpulkan sepuluh tutup botol, lalu menyelipkan uang di antara salah satunya. Teman-teman saya diminta menebak di mana letak uang itu. Untuk bisa menebak, mereka harus membayar terlebih dahulu. Jika tebakannya benar, hadiah akan diberikan. Namun, bila salah, uang mereka hangus.
Dari permainan kecil itu, saya bisa mendapatkan uang untuk membeli kentang dan permen. Kentang biasanya saya nikmati sendiri, sementara permen sengaja saya beli banyak agar bisa dibagikan kepada teman-teman. Anehnya, permen itu selalu habis tak bersisa.
Mungkin dari situlah terlihat bahwa sejak kecil saya sudah memiliki jiwa bisnis sekaligus rasa ingin berbagi. Dua hal itu kemudian tumbuh bersama saya hingga sekarang.
Hal lain yang paling saya rindukan dari kampung halaman adalah suasana lebaran. Momen tahunan itu memang selalu ditunggu-tunggu oleh anak-anak di seluruh dunia, termasuk di Pakistan, juga oleh saya.
Sehari sebelum lebaran, saya biasanya pergi ke toko untuk membeli petasan dalam jumlah banyak. Lalu, tepat setelah shalat Idulfitri dan khutbah selesai, anak-anak berlarian keluar masjid untuk menyalakan petasan. Suasananya sangat meriah, penuh tawa, dan membahagiakan.
Sayangnya, kenangan indah itu sudah lama tidak saya rasakan lagi. Sudah 15 tahun saya tidak merayakan Idulfitri di kampung halaman. Rindu itu begitu dalam, dan di usia 30 tahun ini saya berniat mengobatinya dengan pulang kampung saat lebaran nanti. Meski saya sadar, suasananya tentu sudah banyak berubah, dan saya pun sudah bukan anak kecil atau remaja lagi. Kini saya adalah seorang kepala keluarga dengan dua orang anak.
Ada juga satu kenangan menjelang lebaran yang selalu membuat saya tersenyum sendiri saat mengingatnya. Di kampung halaman, sudah menjadi kebiasaan bahwa hampir semua orang ikut berjualan menjelang hari raya. Saya pun ikut-ikutan, meski barang dagangan saya hanyalah roti, garam, dan gula yang saya ambil begitu saja dari dapur rumah. Kekonyolan itu ternyata ikut menumbuhkan jiwa dagang yang saya jalani hingga hari ini.
Saat ini, fokus utama saya masih di Indonesia untuk menjalankan usaha. Namun, kelak di masa tua, tidak menutup kemungkinan saya akan kembali menetap di kampung halaman, menikmati hari-hari bersama keluarga.
Melalui buku ini, saya juga ingin meninggalkan sebuah catatan harapan: jika Allah memberi rezeki, saya ingin membangun rumah atau pondok untuk anak yatim dan dhuafa di kampung halaman. Tempat tinggal yang layak, yang bisa menampung mereka secara gratis sampai mereka menikah.
